Senin, 03 Januari 2011

Warisan Pusaka Berharga Syaichona Cholil Bangkalan (Asy-Syekh Muhammad Khalil Basyaiban Al-Maduriy)

Syekh Kholil wafat pada hari kamis tanggal 29 Ramadhan 1343 H (1925 M) jam 04 pagi. Jenazah beliau dishalati di Masjid Agung Bangkalan pada sore harinya setelah shalat ashar, kemudian dimakamkan di Pemakaman Martajasah, Bangkalan.

Syekh Kholil banyak meninggalkan “warisan” yang bermanfaat untuk ummat. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pesantren Jangkibuan. Pesantren ini terus aktif sampai kini dan diasuh oleh keurunan Nyai Khotimah bin Kholil dengan Kiai Thoha. Pesantren ini diberi nama “Pesantren Al-Muntaha Al-Kholili”.

2. Pesantren Kademangan. Sepeninggal Syekh Kholil, pesantren ini diasuh oleh keturunan beliau sendiri. Saya mendapatkan tiga nama urutan pengasuh Pesantren Kedemangan, yaitu Kiai Abdul Fattah bin Nyai Aminah binti Nyai Muthmainnah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiai Fakhrur Rozi bin Nyai Romlah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiai Abdullah Sachal bin Nyai Romlah binti Imron bin Kholil. Sampai kini (2007) Pesantren Kademangan diasuh oleh Kiai Abdullah Sachal.

3. Kitab “As-Silah fi Bayanin-nikah”. Sebuah kitab tentang pernikahan, meliputi segi hukum dan adab. Dicetak oleh Maktabah Nabhan bin Salim Surabaya.

4. Rangkaian Shalawat. Dihimpun oleh KH. Muhammad Kholid dalam kitab “I’anatur Roqibin” dan dicetak oleh Pesantren Roudlotul Ulum, Sumber Wringin, Jember. Jawa Timur.

5. Dzikir dan wirid. Dihimpun oleh KH. Mushthofa Bisri, Rembang, Jawa Tengah, dalam sebuah kitab berjudul “Al-Haqibah”. [*]




KAROMAH SYEKH KHOLIL



Pada bab III, buku “Surat Kepada Anjing Hitam” menceritakan 29 cerita karomah Syekh Kholil, namun saya kutib yang 16 saja. Dalam buku itu ditulis:
Pengertian Karomah

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia[1]. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan keramat diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan manusia biasa karena ketaqwaanya kepada Tuhan. [Dept. P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, halaman 483]

Ajaran Islam[2] memaksudkan sebagai “Khariqun lil adat”[3], yaitu kejadian yang luar biasa pada seorang wali Allah. Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi. [Thohir bin Sholeh Al-Jazairi, Jawahirul Kalamiyah, terjemahan Jakfar Amir, Penerbit Raja Murah Pekalongan, hal. 40]

Sedangkan, Imam Qusyairi menjelaskan karomah sebagai penampakan karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan kelakuan seseorang. Barangsiapa yang tidak benar sikap dan kelakuannya, maka tidak dapat menunjukkan kekaromahannya. Dan Allah yang maha Qodim memberi tahu kepada kita agar membedakan orang yang benar dan mana yang batil. [Abul Qosim Abdul Karim Hawazim Qusyairi Naisabury, Risaltul Qusyairiyah, Darul Khoir, halaman 353]

Dengan demikian, istilah karomah dapat disimpulkan sebagai kejadian yang luar biasa pada seseorang yang merupakan anugerah dari Allah dikarenakan ketaqwaanya.[4]

1. PENCURI TIMUN TIDAK BISA DUDUK



Diantara karomahnya adalah pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sebagaimana biasanya Kiai sedang mengajarkan kitab nahwu[5]. Kitab tersebut bernama Jurmiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.

“Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak.

“Wa’alaikum salam, “ Jawab Kiai Kholil.

Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya :

“Sampean ada keperluan, ya?”

“Benar, Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kiai penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon penuh harap.

Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta merta Kiai Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.

“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap.

“Sudah, pak Kiai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya.

“Ya sudah.” Jawab Kiai Kholil menandaskan. Mereka puas mendapatkan penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil.

Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sis-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.

Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian. Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.[6]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar